Rabu, 28 Desember 2011

Kisah satu hari bersama tujuh kawan lama

Mbak-mbak rempong sumber inspirasi



Jepretan dari Gerbong KD 2 
Mereka berdandan layakanya gadis era kini, modis, trendi,ceria, dan berwarna. Tak lupa sesekali jepretan dari kamera hand phone (HP) mereka arahkan ke salah satu rekan yang siap difoto. Gerbong KD 2 82201 sontak terasa lebih berwarna dengan kedatangan sekumpulan mahasiswi semester tujuh ini.
Kereta Prameks warna ungu dengan nomor K2-3-38208 itu mulai melaju dari stasiun Balapan – Solo pukul 06.50 tepat. Langkahnya tak begitu kencang, sehingga mata para penumpang bisa dimanjakan dengan sajian alam yang terlihat di balik jendela yang disuguhkan sepanjang perjalanan.
Delapan menit kereta ungu ini melaju, tak ada suasana yang menarik, hanya beberapa aktivitas monoton penumpang transportasi umum yang terlihat. Penumpang yang bercengkrama dengan rekannya, membaca koran, dan penumpang yang tidur pulas bisa sesekali disaksikan jika bosan melihat suasana di luar jendela. Sepanjang lorong hingga gerbong dekat masinis juga sepi penumpang, mungkin karena Balapan adalah stasiun keberangkatan pertama, sehingga penumpang pun belum banyak.
            Sampai di stasiun Purwosari kereta ini berhenti, diantara penumpang-penumpang yang berjejalan ada sekelompok wanita muda yang berdandan sangat berbeda dengan penumpang lainnya. Mereka mengenakan pakaian dengan tren masa kini, warna-warna kontras seperti orange, biru, kuning, dan hitam dikenakan dalam satu badan. Ada pula yang memakai bros bunga dari kain yang cukup besar dengan diameter kira-kira 20 cm yang dikenakan pada jilbabnya di bagian kepala sebelah kiri. Tak cukup dengan itu wanita berjilbab biru dan rok warna putih motif bunga-bunga itu memakai cincin yang besar dari kain di tangan kirinya.
Kelompok wanita yang berjumlah lima orang itu berdiri di depan pintu kereta.Sontak sudut kereta pada gerbong  KD 2  82201 ramai dengan suara cengkerama dan tawa mereka. Gerbong kedua dari belakang itu juga semakin berwarna dengan variasi pakaian yang gadis-gadis muda itu kenakan. Mereka sesekali melemparkan jepretan kamera dari Handphone Blackberry Bold ke salah satu rekannya yang bergaya. Sesekali penumpang di sekitar melirik. Tak heran memang, karena aktivitas mereka sekilas membuat seseorang ingin melontarkan pandangan meski untuk sejenak.
            Gadis-gadis yang mayoritas berjilbab tersebut adalah mahasiswa jurusan akutansi, Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS). mereka sebenarnya berjumlah delapan orang, namun tiga orang sudah mendapat tempat duduk. Sekelompok mahasiswi semester tujuh ini biasa dipanggil dengan nama-nama beken mereka, yaitu Maya, Olip, Nana, Ana, Tika, Dewi, Jauh dan Ike.
            Mereka mengaku sering pergi bersama-sama untuk sekadar berjalan-jalan atau berbelanja, termasuk ke Yogyakarta dengan Prameks. Maya mengaku  bahwa kepergian mereka saat itu, Sabtu (19/11) untuk berbelanja di Yogyakarta. Selain karena ingin refresing karena selesai mid semester, mereka juga ingin memanfaatkan waktu bersama.
            Sepanjang Solo – Yogyakarta, Maya dan keempat teman lain tak henti menjepret kamera ke arah kawan-kawannya yang sedang bergaya. Panorama di Prameks menurut mereka cukup bagus untuk menambah koleksi foto. Selain itu, mereka juga mengaku memang suka berfoto jika sedang melakukan perjalanan.
            Tak hanya pakaian dan aktivitas berfoto, keceriaan kelompok yang berusia 21 th-nan ini juga cukup menyita perhatian penumpang lainnya. Mereka juga sempat berpindah gerbong, dan melakukan aktivitas yang sama di gerbong yang baru.
            Jauh, salah satu anggota mereka mengatakan, memang sering pergi bersama, ia merasa lebih nyaman dan menyenangkan jika melakukan perjalanan secara bersamaan. Selain itu Jauh juga menambahkan jika pergi sendirian biasanya tidak ada yang berani.
            Memakai rok panjang dengan kain jatuh yang sedikit menggelembung dihiasi motif bunga-bunga memang sudah biasa dikenakan Jauh sehari-hari. Jauh merasa tidak ada yang berbeda dengan stylenya saat itu. Beda halnya dengan Maya yang mengenakan rok pendek lima sentimeter di atas lutut berwarna cokelat dan kaos garis-garis dengan dilengkapi  kardigan hitam, Ia mengaku jika kuliah mengenakan jilbab. Maya menambahkan bahwa jilbab yang ia kenakan saat perkuliahan hanya sekadar formalitas kampus saja. “Ya gaya kita yang biasanya ya kayak gini,” tambahnya.
            Kereta mulai merapatkan perjalanan terakhirnya di Stasiun Tugu Yogyakarta pukul 07.45. Semua penumpang pun berhamburan keluar, termasuk Jauh dan kedelapan temannya. Tugu menjadi akhir cerita keberangkatan mereka dengan Prameks. Mereka berdelapan keluar gerbong satu persatu dan siap melakukan perjalanan baru di sekitar Malioboro. []Ika Yuniati

Minggu, 25 Desember 2011

Uji coba "Tulisan pertama dalam blog terakhir saya"


VASTENBURG :
OASE “BUDAYA” DI KOTA BUDAYA
ika yuniati


Berbagai polemik muncul dikota kecil ini. Solo, memiliki sejarah panjang tentang percaturan politik Indonesia sekaligus tentang Budaya Jawa yang akan selalu lekat di dalamnya. Kehadiran dua Keraton, Kasunanan dan Mangkunegaran merupakan simbol kekuasaan sekaligus budaya kota.
            Solo yang biasa disebut sebagai kota budaya, memiliki konsep inovasi yang berbeda di era kini. Meski tak begitu kentara, namun konsep perbaikan kota kecil ini mengarah pada modernisasi. Lihat saja bangunan mall-mall, hotel-hotel, serta  bangunna pencakar langit lainnya mulai memenui kota budaya ini. Tata kota Solo semakin terlihat modern, dengan meredupnya transaksi di pasar-pasar tradisional, rapuhnya bangunan-bangunan klasik peninggalan sejarah hingga turunnya karisma Keraton.  
Konsep pembangunan kota “Solo past is solo future” yang digaungkan Walikota Solo seolah hanya jargon belaka. Buktinya, budaya yang melekat di kota Solo seolah hanya simbolisme kekuasaan. Masyarakat Solo lebih menikmati nilai kebudayaan ketika budaya disuguhkan dengan gaya yang berbeda, yaitu modern.

            Sebagai kota yang memiliki berbagai warisan pusaka (Heritage) berupa Tangibel heritage (bendawi) dan Intangibel(non bendawi) Solo patut disebut sebagai kota budaya. Namun perlakukan pemilik kota ini seolah tengah dalam kebimbangan.
Lihat saja, dalam kurun waktu tiga tahun trakhir, Solo hadir dengan berbagai polemik budaya. Benteng Vastenburg, benteng peninggalan jaman kolonial yang digunakan sebagai perlindungan pada masa penjajahan Belanda ini mampu menyedot perhatian ribuan budayawan kota. Pasalnya, tahun 2008 lalu, Benteng Vastenburg dikabarkan akan dibangun menjadi sebuah mall tingkat 13.
            Kontan saat itu, berbagai kritikan terlontar untuk  Joko Widodo dan Pemerintah Kota Solo. Meski demikian, hingga saat ini pemerintah hanya bisa bernegosiasi dengan pemilik benteng, belum ada kesepakatan yang jelas. Faktanya, Benteng Vastenburg kini telah dimiliki oleh swasta.
            Meski sebuah peninggalan sejarah masa lalu, namun Benteng Vastenburg hanyalah sebuah bangunan tua yang lama-lama akan usang. Bisa coba dibandingkan dengan keberadaan benteng vedenburg di kota Yogyakarta. Benteng vedenburg lebih terurus dengan diberdayakannya sebagai tujuan wisata Yogyakarta.
            Menurut Sudarmono, budayawan Solo sebuah bangunan tak akan memiliki esensi ketika  dibiarkan begitu saja. Jika ingin memunculkan unsur masa lalunya, maka penjajah-penjajah belanda harus dimunculkan kembali, dan kita kembali dijajah. Menghargai budaya masa lalu bukan berarti tak diijinkan untuk memperbaiki dan membangunnya.
Konstruksi Benteng Vastenburg contohnya, benteng yang dibangun tahun sebelum 1955 ini sudah berumur kurang lebih 55 tahun. Masa benteng ini sudah mendekati tua dan lapuk, jika tidak segera di renovasi maka tak heran jika anak cucu kita tak akan pernah tau tentang keberadaannnya karena hanya akan menjadi puing-puing sisa pembangunan yang usang.
Bukan sebuah dosa besar ketika memberdayakan bangunan masa lalu dengan bentuk yang berbeda, yang lebih penting bukan bangunannya tetapi esensinya. Prof Eko Budihardjo dari Universitas Diponegoro, Semarang menyatakan, “Sebuah kota adalah karya seni sosial sekaligus panggung kenangan yang menyimpan memori seluruh warganya. Menghilangkan memori  merupakan sebuah dosa besar”. Namun pembangunan kembali sebuah cagar alam bukan merupakan dosa.
            Lihat saja kebudayaan Yogyakarta dengan berbagai inovasinya. Beberapa benda poeninggalan sejarah dibangun kembali, direkonstruksi dan lebih menimbulkan esensi. Kekuasaan raja keraton Yogyakarta yang di wujudkan dalam suatu pemerintahan bernama gubernur merupakan inovasi kekuasaan kerajaan yang diaplikasikan era kini. Sekarang sudah bukan waktunya kita selalu terdoktrin dengan budaya masa lalu yang konservatif. Setiap hal ialah dinamis, termasuk budaya. Meski demikian, Yogyakarta tetap tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi mereka. Budaya jawa begitu lekat dalam pribadi masyarakatnya.  
Bukankah budaya ialah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang dilakukan secara berulang-ulang. Memperbaikinya bukan berarti meninggalkannya. Memperbaiki, berarti tetap mengusahakannya agar bisa lestari disesuaikan dengan era kini.
             Tengok saja Solo, kota ini  memiliki persepsi kebudayaan yang sangat berbeda dengan Yogyakarta. Bahkan konservasi benteng pun dijadikan polemik nasional. Namun hingga sekarang, keberadaan benteng vastenberg hanya digunakan sebagi simbol peninggalan masa lalu. Cukup sebagai peninggalan masa lalu, bukan yang lain. Tak ada makna yang begitu berarti selain hanya sebgai benda mati peninggalan masa lalu. Esensi benteng ini pun tak begitu kentara.
Padahal secara tak langsung, ketika kita tetap mempertahankan benteng dengan begitu saja memilik berarti kita tidak mengijinkannya terlihat indah. Kekumuhan benda yang tetap dijaga justru akan mematikan benda tersebut. Mempertahankan benteng dengan bentuk aslinya tanpa direnovasi, berarti menanmkan jiwa feodalisme masa belanda. Kita seolah selalu mengingat belanda dengan beragam penyiksaannya.
Bertolak masalah benteng, kekuasaan raja keraton pun tak begitu berpengaruh. Keaddan ini membuat masyarakat terkotak-kotak antara pememrintah kota dengan keraton. Budaya keraton hanya terlihat ketika ada event budaya. Selain itu, kraton hanya digunakn sebgai simbol peninggalan sejarah.
Banyak cara untuk mencintai budaya. Terus mempertahankannya dengan kondisi masa lalu, bukan berarti mencintainya tetapi mengijinkannya untuk segera punah. Kehidupan ini selalu dinamis, dalam perkembangannya selalu ada inovasi baru . apabila budaya tidak mengimbanginya, maka jangan heran jika kurang dari lima tahun kita tak akan lagi melihat peninggalan budaya kita akan punah.
Penyelamatan budaya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dalam kehidupan ini yang terpenting ialah esensi dalam berkarya, bukan hanya mempertahankan hasil karya nenek moyang kita. Menjadi manusia berbudaya, berati memahami esensi budaya itu sendiri dengan tetap mengamini keberadaannya dan mencoba menyelamatkannya agar tetap bisa dinikmati oleh generasi mendatang.